KANDIDAT KETUA UMUM PB PII 2008-2010

Selasa, 22 Januari 2008

Pengantar TOR

“ Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”(al Baqarah 186)
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (al Maidah 35)

Muktamar tak terasa telah menghantar sebagian perjalanan kita menuju relasi sosial yang lebih luas dan bermakna nantinya. Tuntutan peran yang lebih rahmatan lil alamin–muslimin-PII jelas mengemuka dalam mendialogkan antara perubahan tradisi dan orientasi di masa yang akan datang. Variabel-variabel pendukungnya apa saja serta di titik mana kita bisa melakukan hentakan untuk memotret dan menciptakan momentum perubahan perjuangan.Tidaklah mudah untuk menjawab beberapa hal di atas. Kerja untuk membangkitkan memori kolektif kader jelas menjadi tanggung jawab periode saat ini untuk menghantar lebih jauh lagi.
Dalam batas kesadaran kolektif harus diakui saat ini tengah terjadi syndrom perubahan yang sukar melampaui eksistensialisme, konservatisme, primordialisme dan ashhobiyah akan historie masa lalu yang sedemikian hebat bagi perjalanan PII sebagai gerakan midlle class. Padahal sekali lagi untuk merumuskan apa yang dinamakan masa depan haruslah fair berangkat dari kejernihan ”masa kini” untuk melewati krisis sebentar lantas melompat /bertransformasi dengan keterbukaan identitas sebagai ”gerakan pelajar baru” yang lebih mengedepankan intelektualitas keilmuan dan menjauhakan ranah politisasi Islam yang cenderung mengusung dogma ideologisasi Islam secara parsial.
Fundamentalime radikal sekali lagi setelah 10 tahun bermetamorfosa dari underground ke ere formalisasi PII dikarenakan perubahan konstelasi politik dan sosial budaya(reformasi 1998) telah mendarah daging mendedah basis kognitif semua kader yang irrelevent dengan visi masa depan peradaban yang lebih eklektis untuk di isi oleh kader-kader PII di semua bidang. Manakala komitmen ini tidak direkayasa ulang nampaknya stagnasi tidak berhenti dalam level organisatoris. Hubungan struktural an sich yang di dalamnya lekat dengan keminimalisan bangunan metodologi gerakan sulit untuk bersintesis dengan kepongahan neoliberalisme(pasar) dan pluralitas masyarakat secara kultur dan struktur. Lebih jauh, pasca activisme kader-kader PII menjadi asosial dan kurang bertanggungjawab serta mandeg dalam bermitra dan berkomitmen untuk mengembangkan dan merekayasa peradaban masyarakat global (alias mati kutu), hanya mengandalkan orientasi emosional dengan alumni semata.
Data mutakhir kaderisasi mulai periode jayadi(98-00)-abdi(00-02)-zulfikar(02-04)-delianur(04-06)-zaid makarma(06-08) telah mencetak piramida elit berupa puncak karier pendidikan kader yakni tingkat advanced training /Pendidikan instruktur (sumber: diolah dari LPJ tiap periode)

Tabel di atas bisa dibaca sebagai bias implementasi sistem kaderisasi ta’dib yang kurang kompatibel dimana konsistensi dan kesungguhan sebagai ’gerakan kader’ semakin terperas dengan kondisi kader yang jauh lebih minimal. Artinya untuk melakukan backup geopolitik kebangsaan yang komprehensif lekat dengan struktur kenegaraan yakni lebih dari 30 propinsi, 400 kabupaten sangat kurang solid dan terarah. Secara makro jumlah Pengurus wilayah 28 dan PD lebih 300 namun ironis jumlah basis sosial yakni komisariat tidak terdeteksi ”mati suri”.
Mengapa bisa demikian? Jumlah tersebut (kalkulasinya bila setiap periode wilayah mampu menghasilkan kader batra 300-1000 maka rentangnyya baru 9000-30.000 yang berdiaspora sepanjang 28 PW), jika dibandingkan dengan lebih dari 50 juta pelajar sebagai lahan garap PII dirasa kurang berimbang. Apatah lagi kalau PII ingin menjadi trendsetter dalam hal isu pendidikan, agama bahkan gaya hidup anak muda saat ini. Lembaga cukup tergopoh-gopoh untuk bermitra dengan elemen budaya global secara general disemua eselon kepengurusan.
Belum cukup dialogis concern PII terhadap agenda demokratisasi pendidikan dalam hal hak aksesibilitas, isu pemanasan global akibat industrialisasi, pola konsumtif masyarakat khususnya pelajar yang dirangsang sedemikian rupa hampir setiap saat oleh televisi dan media lainnya. Akan tetapi PII juga harus tahu diri dan memanfaatkan medan, gerakan-gerakan yang mendekat kepada efektifitas penyaluran isu seperti media cetak/televisi tidak cukup energic untuk didekati/mitra, meski dalam skala kecil masih ada yang bisa melakukan hal tersebut.
Realitas berkata demikian, obsesi dan cita-cita Jusdi ghozali dkk di tahun 1947 sedikit banyak sudah tereduksi dengan problematika bagaikan lingkaran setan. Problem lembaga paralel dengan problem yang sedang menimpa bangsa sekarang dan organisasi masyarakat sipil lainnya, dengan penekanan yang berbeda-beda. Tentu dengan porsinya masing-masing, das-sein-das sollen atau idealitas dan realitas terjadi gap luar biasa sehingga butuh extraordinary movement (gerakan super-khusus) guna mengejawantahkan masa depan cita-cita masa lalu yang sederhana namun konstruktif: “kyai intelek, intelek kyai.”
Berangkat dari deskripsi di atas selayaknyalah terus mendengungkan kembali spirit transformasi muslim intelegensia dalam kerangka fastabiqul khairot, luwes, cakap bertindak dan populis dalam gerakannya sehingga tidak seperti katak dalam tempurung. Fase pelajar berkarya dan berbudaya sebagai ghiroh periode sekarang /sebelumnya perlu dipertajam dengan pilihan yang lebih membumi, rasional dan realistis. ”Pelajar Cendekia, memajukan bangsa” menjadi ikhtiar pembacaan dan kontinuitas isu untuk mencetak generasi ideal yang bisa mendominasi peradaban Indonesia dan dunia dengan kearifan budaya dan agama. Karya hanyalah efek ketika organisasi PII mampu menjadi melting pot(media lebur) dari kultur belajar yang assertif dan berkualitas sehingga kader-kadernya merasa “at home “ dan konstruktif di zamannya.

SUSUNAN OC MUKNAS 26 PII


SUSUNAN PANITIA MUKTAMAR NASIONAL
PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) KE- 26
DI PONTIANAK KALIMANTAN BARAT, JULI 2007


PENANGGUNG JAWAB : M. Zaid Markarma
STEERING COMMITTEE : M. Adzkiya* Arifah
Ivan Royvani Zakaria
Abubakar Fahmi Resapugar

ORGANIZING COMMITTEE
Ketua : Popi Adiyes Putra
Sekretaris : Salman Alfarisi
Bendahara : Nur’aiman
Seksi-seksi
Seksi Kesekretariatan : M. Hamzah Zubair *
Syahnan Tanjung
Ali Asnawi
Seksi Acara & Dokumentasi : Nurnasrina *
Masdum Mustaqwa
Cici Jumiati kusuma
Yusuf Nasution
Seksi PR & Humas : M. Harry Naldi *
Ichsan Kamil
Yudi Setiawan
Adel Wahidi
Seksi Dana & Usaha : Zainuddin Nasution *
Nasrullah El Ghifari
Sani Arafat
Hendra K. Prihadi
Seksi Akomodasi & Transportasi : M. Asy’ary *
Iradat Ismail
Tatang Surya Atmadja
M. Roem M. La Jamme
Seksi Kesehatan : Indah Subagio *
Rifka A. Farilah Khan
Asmala Dewi
Seksi Konsumsi : Kasmiani *
Ahmad Jojon Novandri
Nurul Maqbullah
Seksi Security : Brigade PII

EXECUTIVE COMMITTEE : Pengurus Wilayah PII Kalimantan Barat

Keterangan : * Koordinator

Rabu, 09 Januari 2008

SEKILAS SEJARAH PII

PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) didirikan di kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya adalah Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji.Salah satu faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualisme sistem pendi-dikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Be-landa, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara seko-lah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren meng-anggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk ko-lonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum de-ngan "pelajar kafir". Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pe-santren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan "santri kolot" atau santri “teklekan".Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Merenungi kondisi tersebut, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika Yoesdi Ghozali sedang beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya, gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan terse-but kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Secodining-ratan, Yogyakarta. Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.Hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan Yoesdi Ghozali dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1April 1947. Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudi-an memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah per-temuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri mewakili Bagian Pelajar GPII yang siap dilebur di organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk, Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947.Untuk memperingati momen pembentukan PII, maka setiap tanggal 4 Mei di-peringati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal ini karena hari itu dianggap se-bagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, se-hingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.

Ketua Umum PB PII dari Periode ke Periode

Joesdi Ghazali (1947)
Noersjaf (1947-1948)
Anton Timoer Djailani (1948-1950), (1950-1952)
Ridwan Hasjim (1952-1954)
Amir Hamzah Wirjosoekanto (1954-1956)
Ali Undaja (1956-1958)
Wartomo Dwijuwono (1958-1960)
Thaher Sahabuddin (1960-1962)
Ahmad Djuwaeni (1962-1964)
Syarifuddin Siregar Pahu (1964-1966)
A. Husnie Thamrin (1966)
Utomo Dananjaya (1966-1969)
Hussein Umar (1966-1969), (1969-1973)
Usep Fathuddin (1969-1973)
Yusuf Rahimi (1973-1976)
Ahmad Joenanie Aloetsjah (1976-1973)
Masyhuri Amin Mukhri (1979-1983)
Mutammimul Ula (1983-1986)
Chalidin Yacobs (1986-1989)
Agus Salim (1989-1992)
Syaefunnur Maszah (1992-1995)
Abdul Hakam Naja (1995-1998)
Djayadi Hanan (1998-2000)
Abdi Rahmat (2000-2002)
Zulfikar (2002-2004)
Delianur (2004-2006)
Muh. Zaid Markarma (2006-2008)

AKSI KADER PII